Abstraksi
Korupsi
merupakan kejahatan yang sangat kronis dan sistemik.Upaya penanggulangannya
membutuhkan kesungguhan, keseriusan, dan kesinambungan yang tidak boleh
ditawar. Usaha seperti ini tetap tidak akan berhasil tanpa dilandasi moralitas
dari semua komponen yang terlibat. Landasan ideologi dapat dijadikan alat yang
memberikan kontribusi dalam memberantas korupsi selama didasari oleh keyakinan
dan tekad yang sungguh-sungguh.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
MASALAH
Permasalahan korupsi tidaklah menjadi monopoli negara-negara berkembang,
tetapi sudah menjadi gerakan rutinitas semua negara untuk melakukan pemberantasan,
bahkan disadari kita semua bahwa ”combat to coruption”
layaknya nyala api lilin, sekali waktu terjadi minimalisasi perbuatannya, lain
waktu menimbulkan gejolak dan reaksi masyarakat yang cukup keras, namun api ini
seolah kuman yang tidak pernah padam, karenanya sangat terkesan membicarakan
problematika korupsi dari kajian akademis, meski pendekatan-pendekatan empiris
sangat menunjang pembaharuan subtansi perundang-undangan.
Tingkat pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya
terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan
jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang
dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek
kehidupan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa
bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada
kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang
meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi
tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi
suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa,
tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Seperti halnya yang terjadi di Indonesia dewasa ini, bahwa kenyataannya
tindak pidana korupsi telah merugikan keuangan negara dan menghambat
pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Akibat tindak
pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan
nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Penegakan
hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan
metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pepmbentukan suatu badan
khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan
maupun dalam upaya
pemberantasan tindak
pidana korupsi yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif,
profesional serta berkesinambungan.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah
meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana
korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999
tentang Penyelenggara Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme serta Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dari sisi substansial perundang-undangan, dapat diketahui bahwa Undang-Undang
No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Karena itu
Pemerintah bersama-sama dengan DPR telah menggantinya dengan Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diharapkan
mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakan dalam
rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana
korupsi.
Perlu dikemukakan ungkapan dari Lord Acton yang berbunyi : ”power
tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan
cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut korupsi absolute ), bahwa
kekuasaan sangat rentan terhadap korupsi.
Setiap kekuasaan selalu mengandung potensi disalahgunakan (mesbruik
van recht) atau dilaksanakan sewenang-wenang (arbitrary, willekeur)
atau dilaksanakan dengan melalmpaui wewenang (detournent depouvoir) hal
ini dapat terjadi karena dua hal. Pertama, kekuasaan mengandung hak dan
wewenang (recht en bevoegdheid) dan kedua, hak dan wewenang, memberi
posisi lebih terhadap subyek yang dituntut atau pencari keadilan.
Untuk menjamin penegakan hukum dapat dilaksanakan secara benar adil ,
tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, ada beberapa
asas yang harus selalu tampil dalam setiap penegakan hukum, yaitu asas tidak
berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus (fairness),
asas beracara benar (prosedural due process), asas menerapkan hukum
secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif pencari keadilan
dan kepentingan sosial (lingkungan), asas jaminan bebas dari segala tekanan dan
kekerasan dalam proses peradilan.
Menurut Piers Beirne dan James Messerschmidt ada empat tipe korupsi yang
semuanya berkaitan erat dengan kekuasaan. Keempat tipe tersebut adalah political
bribery, political kickbacks, election fraud dan corrupt campaign
practices. Political bribery adalah termasuk kekuasaan di bidang
legislative sebagai pembentuk undang-undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan
oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum
sering berkaitan dengan aktifitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap
anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan mereka. Political
Kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan system kontrak pekerjaan
borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk
mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Election Fraud adalah
korupsi yang berkaitan dengan kecurangan pemilihan umum, sedangkan Corrupt
Campaign Practice adalah praktik kampanye dengan menggunakan
fasilitas Negara maupun uang Negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan
Negara.
Pengertian korupsi dilihat dari segi peristilahan, kata ”korupsi”
berasal dari bahasa latin ”corruptio” atau menurut Webster Student
Dictionary adalah corruptus. Selanjutnya disebutkan pula bahwa corruptio
itu berasal dari kata asal corrumpiere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari
bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa di Eropa seperti Inggris : corruption,
corrupt, Perancis :
corruption dan Belanda : corruptie
(korupsi). Dapat diduga istilah korupsi berasal dari Bahasa Belanda. Ini
yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia “korupsi”. Arti harfiah dari
kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap,
tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian kata-kata atau ucapan yang menghina
atau memfitnah.
Arti kata korupsi yang diterima dalam perbendaharaan kata Indonesia itu
disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia untuk korupsi
ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan, penerimaaan uang sogok dan
sebagainya. Di Malaysia terdapat juga peraturan anti korupsi, tetapi di
Malaysia tidak digunakan ”korupsi” melainkan kata ”antikerakusan” sering pula Malaysia
menggunakan istilah ”resuah” yang berasal dari bahasa Arab ”riswah”. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia ”riswah” artinya sama dengan korupsi. Dengan
demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa korupsi itu sebagai istilah sangat
luas artinya. Korupsi itu adalah bermacam-macam ragam artinya bervariasi,
menurut waktu, tempat, dan bangsa.
B. RUMUSAN MASALAH
Masalah korupsi di Indonesia
sangat kompleks. Korupsi sudah merambat ke mana-mana dalam lapisan masyarakat
pelaku tindak pidana korupsi tidak saja dari kalangan pegawai negeri pada
pejabat rendah tetapi sudah merambat pada pengusaha, menteri, duta besar, dan
lain-lain dalam semua tingkatan baik dari kalangan eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif, maka tidak heran kalau golongan pesimis mengatakan korupsi di
Indonesia adalah suatu bagian budaya (sub cultural) korupsi mulai dari
pusat tersebar melalui kepulauan Indonesia bahkan sejak otonomi digulirkan
tahun 2001 sejak saat itu pula korupsi itu marak di daerah. Otonomi daerah
memberikan wewenang yang sangat besar kepada bupati / wali kota atau kepala
daerah Tk. II mengelola dana pusat yakni dana perimbangan yang terdiri atas
Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus yang jumlahnya cukup besar. Saking
merajalelanya korupsi di Indonesia yang sangat merugikan rakyat banyak timbul
pertanyaan dan permasalahan. Apakah korupsi di Indonesia masih dapat
diberantas? Dibasmi atau setidak-tidaknya dikurangi baik jumlah uang yang
dikorupsi maupun aktivitas dan kegiatan-kegiatan pelaku tindak pidana korupsi
itu sendiri.
C.PERMASALAHAN
Kebijakan hukum ( legal grand scenario)
apakah yang seharusnya dipakai dalam menangani penanganan pemberantasan tindak
pidana korupsi sebagai kejahatan extra ordinary crime ?
D.PEMBAHASAN
1. Sejarah Pemberantasan Korupsi
Kabinet Djuanda
Dimasa Orde Lama tercatat dua
kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat
aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia
Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin
oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Prof. M. Yamin dan
Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus
menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang
disediakan.2 Mudah ditebak model perlawanan para pejabat yang korup pada saat
itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin
pertanggunjawaban
secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak
diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan
kekacauan politik, Paran berakhir tragis, buntu dan akhirnya menyerahkan
kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui
pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik
Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi
yang terpusat di Istana. Pidato itu seakan harapan besar seiring dengan
dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa
Agung. Namun ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada
kebijakan Soeharto menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang
diangap bersih dan berwibawa, seperti Prof. Johannes, I.J.Kasimo, Mr.Wilopo,
dan A.Tjokroaminoto dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog,
CV.Waringin, PT.Mantrust,
Telkom, Pertamina dan lain-lain. Empat tokoh bersih
tersebut jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina ,
misalnya sama sekali tidak digubris oleh Pemerintah.
Lemahnya posisi Komite inipun
menjadi alasan utama. Kemuadia ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai
Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga
memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan
korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu
sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun
hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana
Orde Baru.
Era Reformasi
Di Reformasi usaha pemebrantasan
korupsi dimulai oleh Presiden B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU No. 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas korupsi, Kolusi dan
Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau Badan Baru, seperti komisi
pengawas kekayaan pejabat negara (KPKPN), KPPU atau Lembaga
Ombudsman. Berikutnya Presiden Abdurrahman Wahid
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun ditengah semangat menggebu-gebu
untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review
Mahkamah Agung. TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika mementurkannya ke UU Nomor
31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan
dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk kedalam
KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya KPK-lah lembaga
pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
Sebagaimana telah disinggung
bahwa semua negara berkembang pernah menghadapi penyakit masyarakat (social
disese), berupa korupsi yang termasuk jenis pungli yang paling berkecamuk
dalam kehidupan sosial. Pada dasarnya adalah akibat perang dunia kedua yang
membawa kesengsaraan dimana-mana.
Maka disaat ada kesempatan
perbaikan nasib, kesempatan ini diraih dengan serakah (wild), sebagai
manifestasi rasa takut sengsara yang terselubung (obsesi), telah
menumbuhkan tindakan menjauhkan diri dari nilai-nilai hidup moril (distortion
of values).
Ini adalah gejala umum yang
dihadapi dunia baik negara Barat maupun timur. Kalau kita melihat kenyataan ini
maka seolah-olah korupsi dalam bentuk berbagai jenis adalah sebab dasarnya
terletak pada akibat perang dunia kedua yang menimbulkan penderitaan di dalam
kehidupan masyarakat, sehingga terjadi penyimpangan berharga. Secara
historis sebenarnya masalah koruspsi sudah ada pada waktu sebelum masehi.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dibawah ini akan dilakukan pengkajian
terhadap munculnya korupsi di Indonesia ditinjau dari aspek historis sosis
kultural.
Korupsi adalah sebuah nama yang
sudah cukup lama dikenal dari bahasa latin corruptio dari kata
kerja corrumpre yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok. Menurut Tranparency International korupsi diartikan
perilaku pejabat publik, baik politikus maupun pegawai negeri yang secara tidak
wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada
mereka. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar
mencakup unsur-unsur sebagai berikut :
Ø Perbuatan melawan hukum;
Ø Penyalahgunaan kewenangan;
Ø Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi;
Ø Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana
korupsi yang lain diantaranya :
Ø Memberi atau menerima hadiah atau janji
(penyuapan);
Ø Penggelapan dalam jabatan;
Ø Pemerasan dalam jabatan;
Ø Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara);
Ø Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara
negara);
Berdasarkan interpretasi pandangan tentang ”kausa”
tujuan korupsi, maka Soejono (1983 : 54-55) memberikan beberapa pendapat
sebagai berikut :
a. Korupsi
antara lain disebabkan karena kurangnya kesadaran dan kepatuhan hukum di
berbagai bidang kehidupan;
b. Korupsi
timbul karena ketidaktertiban di dalam mekanisme administrasi pemerintahan;
c. Korupsi
sebagai salah satu pengaruh samping dari meningkatnya volume pembangunan yang meningkat secara cepat, sehingga
pengelolaan, pengendalian dan pengawasan mekanisme tata usaha negara menjadi
ekses dari birokrasi, seperti pada bagian pemberian izin dan berbagai keputusan
d. Masalah
kependudukan, pendidikan dan lapangan kerja, berkait dengan akibat daripadanya
yakni kurangnya gaji pegawai dan buruh dan sebagainya merupakan faktor yang
berpengaruh.
e. Faktor-faktor
sosial budaya yang berpengaruh terhadap psikologi perilaku, seperti kultur malu
atau gengsi memperngaruhi sementara keluarga. Maka keputusannya untuk melakukan
sesuatu yang termasuk dalam jenis korupsi adalah karena dorongan ini.
Dengan berbagai kemauan dan cara
pemerintah telah berusaha menanggulangi korupsi, namun masih saja korupsi
berjangkit, hal ini adalah karena kompleksnya masalah ini yang penanganannya
memerlukan peranan dari berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial budaya
secara integral.
Korupsi di Indonesia betapapun
merupakan realita, fenomena yang juga tidak dapat dilepaskan dari semakin
meningkatnya intensitas dan volume pembangunan yang cepat sekali. Namun inipun
bukan merupakan faktor penyebab tunggal, melainkan hanya salah satu faktor yang
berpengaruh dalam proses interaksi sosial.
Dengan kata lain korupsi di Indonesia adalah
”produk” dari interaksi sosial yang terkait di dalamnya berbagai faktor yang
subyektif yang berhubungan faktor-faktor eksternal yang dipengaruhi oleh
politik,ekonomi, sosial budaya, agama dan aspek keamanan masyarakat.
2. Kebijakan Hukum Positif dan Korupsi
Politik
penegakan hukum merupakan terjemahan dari ”Law Enforcement Policy” dari konsepsi negara-negara Anglo Saxon. Konsepsi makna ”policy”
ini telah diterjemahkan secara gramatikal sebagai ”politik”. Penerjemahan ini menimbulkan problematik dan interpretasi
tersendiri di kalangan akademisi mapun praktisi. Disatu sisi sebagaimana
telah
diuraikan diatas penerjemahan
makna ”politik” akan memberikan peran sangat luas siapapun institusi itu
terjebak dalam masalah politik praktis dalam bidang ketanegaraan maupun politik
ketatanegaraan. Disisi lain, makna ”policy” tidaklah tepat diterjemahkan
sebagai arti ”politik”, tetapi harus dimaknai sebagai suatu ”kebijakan” yang
jauh dari permasalahan politik praktis (ketatanegaraan), sehingga dengan makna
suatu kebijakan, suatu institusi yang independen seperti halnya Polri ini akan
terhindar dari lingkungan politik praktis.
Pelanggaran-pelanggaran
yang tidak dapat atau sulit terdeteksi oleh aparat penegak hukum itu,
seringkali perbauatannya pun tidak terjangkau oleh hukum (offences beyond
the reach of the law), sehingga seringkali para pelakunya dapat dengan
leluasa. Perbuatan-perbuatan pelakunya seringkali merugikan keuangan dan
perekonomian masyarakat serta negara dalam skala yang sangat besar, sehingga
penggunaan aturan-aturan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang terkodifikasir
itupun tidak jarang masih belum dapat menyelesaaikan permasalahan tersebut.
Perbedaan antara rumusan delik yang terdapat pengaturannya ’”di dalam KUHPidana”, dengan aturan khusus ”diluar KUHPidana” adalah
terletak pada ada atau tidaknya
unsur ”merugikan keuangan dan perekonomian
masyarakat dan negara” sebagai salah satu syaratanya. Pada KUHPidana di dalam rumusan
deliknya tidak memberikan rumusan ”merugikan keuangan dan
perekonomian Negara dan masyarakat” sedangkan aturan khusus diluar
KUHPidana mencantumkan rumusan merugikan keuangan dan perekonomian
Negara dan Masyarakat, seperti contohnya adalah tindak pidana korupsi
yang tercantum dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang diperbaharui dengan UU No. 20 Tahun 2001 dan UU No.
30 tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada tindak pidana korupsi
unsur-unsur penting yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. bahwa perbuatan yang dilakukan
mengandung unsur melawan hukum;
2. bahwa perbuatan itu mengandung
unsur kesengajaan;
3. bahwa adanya penyalahgunaan
wewenang berkaitan dengan jabatan yang melekat pada dirinya;
4. bahwa perbuatan itu merugikan
keuangan maupun perekonomian Negara dan Masyarakat.
3. ”Systematic Approach” sebagai Sarana Penegakan Hukum
Secara Sosio Yuridis
Korupsi merupakan bentuk
kejahatan yang sulit pembuktiannya, bahkan ia tumbuh subur sejalan dengan
kekuasaan ekonomi, hukum dan politik. Hal ini senada dengan pendapat
pendapat Indriyanto Seno Aji yang menyatakan : ”
Bentuk kejahatan struktural inilah yang memasukkan format korupsi sebagai bagian dari kejahatan
yang teroganisir. Korupsi yang melanda hampir seluruh dunia ini
merupakan kejahatan struktural yang meliputi sistem, organisasi dan
struktur yang baik, karenanya perjudian dan korupsi begitu menjadi sangat kuat dalam konteks perilaku politik dan sosial”. Arti sistem ini memeliki makna
yang luas dan komprehensif bahkan dapat dikatakan sebagai suatu proses yang
signifikan. Korupsi sendiri digolongkan sebagai extra ordinary crime (kejahatan
yang luar biasa) pada senyatanya sudah menjadi bagian dari sistem yang ada,
karenanya usaha yang maksimal bagi penegakan hukum, khususnya pemberantasan
tindak pidana korupsi dengan pendekatan sistem, apalagi pendekatan sistem ini
dikaitkan dengan peranan institusi peradilan yang sangat menentukan sebagai
salah satu institusi penegakan hukum.
Sangat sulit untuk menentukan
dari mana awal dimulainya antisipasi pemberantasan korupsi. Korupsi sendiri
merupakan kejahatan yang terukur yang tertsruktur maupun kejahatan yang
tersistematinasi sangat sulit untuk menentukan hal ini dapat kita lihat dengan
adanya kondisi yang mendukung munculnya korupsi yaitu :
a. Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan
yang tidak bertanggungjawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering
terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik;
b. Kurangnya transparansi di pengambilan
keputusan pemerintah;
c. Kampanye-kampanye politik yang mahal dengan
pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal;
d. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam
jumlah besar;
e. Lingkungan tertutup yang memetingkan diri
sendiri dan jaringan teman lama;
f. Lemahnya ketertiban umum;
g. Kurangnya kebebasan berpendapat atau
kebebasan media massa;
h. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil;
i . Rakyat yang apatis, tidak tertarik atau mudah
dibohongi yang gagal memberikan perhatian
yang cukup ke pemilihan umum;
j. Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk
mencegah penyuapan atau sumbangan kampanye.
Mekanisme
arti ”sistem” hukum mengalami suatu perubahan mendasar. Arah idealisme sistem
peradilan pidana (criminal justice system) ini dapat dipahami melalui
sinonimitas pendapat Lawrence M.Friedman dalam bukunya American law : What
is a legal system ?. Mengenai system (hukum). Sistem lanjutnya, haruslah
ditelaah sebagai suatu kesatuan yang meliputi tinsdakan re-evaluasi, reposisi
dan pembaharuan (reformasi) terhadap struktur (structure),
subtansi (substance) hukum dan budaya hukum (legal culture).
Keterpaduan
(integrated) dari system hukum tersebut itu selayaknya dilakukan secara
simultan, integral dan paralel. Systemic Approach ini dapat sebagai bahan untuk
merencanakan persoalan hukum (legal issue) atau penyelesaian hukum (legal
solution)
maupun pendapat hukum (legal
opinion) termasuk permasalahan korupsi yaitu :
a. Struktur (Structure)
Struktur
dimaksud meliputi perbaikan segala kelembagaan atau organ-organ yang
menyelenggarakan peradilan sehingga terdapat minimalisasi terjadinya KKN. Salah
satu gebrakan di era reformasi adalah dikeluarkannya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dimana dalam pasal 6 dijelaskan :
Komisi Pemberantasan Korupsi
mempunyai tugas :
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan terhadap pidana korupsi.
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak
pidana korupsi, dan
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintah negara.
Dibentuknya
suatu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bersifat independen tersebut
memiliki kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagai institusi
yang memiliki sinergitas dengan institusi penegak hukum yang sudah ada. Pula
adanya Komisi Ombudsman Nasional melalui Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000
yang memberikan dan mengembangkan kondisi yang kondusif terhadap pelaksanaan
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.
b. Substansi (Subtance)
Disini menyangkut pembaharuan
terhadap pelbagai perangkat peraturan Dan ketentuan normatif (legal reform),
pola dan kehendak perilaku masyarakat yang ada dalam sistem hukum tersebut.
Persoalan hukum pada era reformasi terhadap substansi hukum mengarah kepada
pendekatan kemasyarakatan, bukan lagi pada sisi legalistik formal.
Dimulai dengan berlakunya TAP MPR no. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas KKN yang diimplementasikan melalui ketentuan UU
No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas KKN maupun UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Pembaharuan Kekuasaan Kehakiman
serta lahirnya UU No. 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Kesemuanya merupakan perangkat normatif yang akomodatif serta berorientasi pada
pendekatan masyarakat dengan menghindari semaksimal mungkin segala bentuk
intervensi kekuasaan eksternal terhadap yudikatif.
c. Budaya Hukum (Legal Culture)
Budaya hukum disini merupakan
aspek yang melihat bagaimana masyarakat menganggap ketentuan sebegai civic
minded sehingga masyarakat akan selalu taat dan sadar pentingnya hukum
sebagai suatu regulasi umum. Persoalan hukum itu sendiri tidak akan bisa lepas
dari
budaya hukum masyarakat itu
berada. Kita akui bersama rendahnya moral (kesadaran moral) dan budaya hukum
yang sangat penting ini akan dapat menganggu struktur dan subtansi dari sistem
hukum secara keseluruhan.
Penegakan
hukum untuk memberantas korupsi dilakukan dengan cara memberikan dukungan
peninkatan moral dan etika penegak hukum, seperti dan perlu segera direncanakan
pembuatan Law Enforcement Officer Act, pula perbaikan sistem
rekruitmen para penegak hukum melalui pemahaman ilmu hukum secara reformis (legal
grand scenario) karena tuntutan situasi dan kondisi sehingga ilmu hukum
dibaca dari
kacamata Tradisi Baru berupa :
Ø Theory building
Ø Pendidikan keilmuan
Ø Legal scientist, legal theorist
Ø Deskriptif
Ø Ilmu Dasar
Ø Penelitian socio legal
Bahwa harus dimengerti pula
perlunya aspek dari budaya hukum itu sendiri sebagai berikut :
a. Internal Legal Culture
Yaitu kultur yang dimiliki oleh
struktur hukum yakni Pancasila sebagai GrundNorm. Pancasila disini adalah yang
paling sesuai dengan jiwa Bangsa Indonesia, semacam teori volkgeist (jiwa
bangsa) dari para penganut aliran sejarah hukum, khususnya Von Savigny.
b. External Legal Culture
Yaitu kultur hukum masyarakat
pada masyarakat. Pancasila dianggap yang paling sesuai dengan kesadaran hukum
dan pandangan hidup dari masyarakat Indonesia, sehingga dilihat dari segi ini
banyak kemiripan dengan teori hukum sosiologis, semacam yang dikembangkan oleh Roscou
Pound di Amerika Serikat.
Jadi
tanpa adanya political will dari Negara, maka pemberantasan korupsi akan sulit
mencapai hasil yang maksimal. Dari penelitian yang dilakukan Prof. Andi Hamzah
ke berbagai Negara antara lain Muangthai, Malaysia dan Australia melalui
bukunya ”Perbandingan Pemberantasan
Korupsi di Berbagai Negara” memberikan beberapa masukan dan pendapat sebagai
berikut :
Aktifitas yang independen dari
Independent Commicion Againts Corruption (ICAC) seperti di Australia, Thailand
(National Couter Cooruption Commicion)
sangat menunjang keberhasilan pemberantasan korupsi, mengingat komisi
ini tidak berada dibawah (subordinasi) dari Pemerintah. Karena itu seperti NCCC
di Thailand dapat secara bebas melakukan penyelidikan terhadap Perdana Menteri
Thaksin sebagai Perdana Menteri saat itu yang diduga melakukan tindak pidana
korupsi. Political will secara komprehensif terhadap pemberantasan korupsi itu
tidak harus datangnya dari eksekutif, tetapi Lembaga non eksekutif, seperti
legislatif maupun yudikatif, harus sangat memberikan respon yang signifikan
untuk menghasilkan pemberantasan korupsi yang maksimal tersebut. Independensi
ini terlihat pada sistem pertanggungjawaban komisi ini yang langsung kepada
parlemen (semacam
legislatif), bukan kepada Perdana Menteri (seperti Malaysia).
Pula
Prof. Andi Hamzah melukiskan dengan jelas bagaimana parahnya wabah korupsi di
Indonesia, jika dibandingkan dengn apa yang terjadi di negara-negara tetangga
dengan menyatakan sebagai berikut :
Jika komisi pemberantasan korupsi di Australia dan Singapura berfungsi
sebagai pengisap debu (vacuum cleaner), di Malaysia dan Hong Kong sebagai sapu
ijuk dalam rumah, di Thailand sebagai sapu lidi di pekarangan, maka di
Indonesia diperlukan bulldozer karena korupsinya sedah menggunung. Pada umumnya seperti di negara
Anglo Saxon memerlukan penerapan asas pembalikan (Reversal
Burden of Proof atau Omkering van het Bewijslast). Ini merupakan penyimpangan asas
umum hukum pidana yang
menyatakan bahwa siapa yang
menuntut dialah yang harus membuktikan kebenaran tuntutannya. Dalam hal pembalikan
beban pembuktian terdakwalah yang harus membuktikan dirinya tidak bersalah,
jika ia dapat membuktikannya maka ia dianggap tidak bersalah. Sebagai suatu
penyimpangan, maka asas ini hanya diterapkan terhadap perkara-perkara
tertentu (certain cases)
yaitu yang berkaitan dengan delik korupsi.
Last but not least, perlu pula kiranya pemahaman / pendekatan kasus
ataupun pembuat undang-undang untuk lebih kearah realisme hukum ”sociological
jurisprudence” (hukum dilihat dari pendekatan sosiologis) yang muaranya
ditujukan untuk memberi kemampuan bagi institusi hukum ”untuk secara lebih
menyeluruh dan cerdas mempertimbangkan fakta sosial yang disitu hukum tersebut
berproses dan diaplikasikan”. 30 Dalam
perspektif ini hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih
daripada sekedar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan
juga adil; hukum semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan
punya komitmen bagi tercapainya keadilan subtantif.
D. PENUTUP
KESIMPULAN
1. Konteks tindak pidana korupsi yang
dikategorikan white Collar Crime ataupun Extra Ordinary Crime dengan
perbuatannnya yang selalu menalami dinamisasi yang begitu cepat sangat sulit
memperoleh procedural pembuktiannya, karenanya memerlukan pendekatan system (system
approach) terhadap pemberantasannya seperti diantaranya perlu merubah
tradisi ilmu hukum yang telah ada kepada tradisi hukum yang baru
2. Fungsi hukum sebagai rekayasa sosial kurang
diberdayagunakan, yang sebenarnya hukum dapat berfungsi sebagi sarana rekayasa
sosial ” a tool of social engineering”, yang
pada gilirannya hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembangunan ”a tool of development”.
3. Penegakan hukum dalam hal ini pemberantasan
tindak pidana korupsi harus pula melibatkan elemen yang pokok yaitu aparat
penegak (hakim, jaksa, polisi) itu sendiri yang berani ”proaktif” dalam
menafsirkan hukum, menemukan hukum (yang sudah ada) dan menciptakan hukum yang
baru dan tidak terjebak dalam legal positivistik semata.
SARAN
Dsalam era globalisasi sekarang
ini diperlukan sebuah kajian mendalam berkaitan dengan penerapan
(operasinalisasi) subtansi hukum (pembaharuan perundang-undangan tindak pidana
korupsi) yang lebih progresif.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun
1995 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Andi Hamzah, 2002, Pemberantasan Korupsi
Ditinjau dari Hukum Pidana, Pusat Studi Hukum Pidana Univ. Trisaksi,
Jakarta.
Abdul Malik, 2002, Implementasi Hukum Pidana
Pada Kasus Akbar Tanjung”, Makalah Diskusi Terbatas II Kerjasama LKBH FH
UII dengan Law Office Seven & Associates Jakarta, Yogyakarta.
Esmi Wirasih, 2001, Peranan Kultur Hukum dalam
Penegakan Hukum, Majalah
Hukum UNDIP, Semarang.
Fuady Munir, 2007, Dinamika Teori Hukum,
Ghalia, Bogor.
Indriyanto Seno Adji, 2004, Korupsi dan Hukum
Pidana, Makalah Seminar Nasional (Mewujudkan Supremasi Hukum di Tengah
Perubahan Sosial :
PMB-LIPI bekerjasama dengan Polri ), Jakarta.
Philippe Nonet - Philip Selznick, 2008, Hukum
Responsif, Nusamedia,
Bandung.
Soejono, 1983, Korupsi : Analisa Hukum dan
Kriminologi, Sinar Baru, Bandung.
Wijono, 1986, Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia, Alumni, Bandung.
Internet, 2009, Korupsi – Wikipedia bahasa Indonesia,Eensiklopedia Bebas
No comments:
Post a Comment